Bank syariah merupakan bank yang secara operasional berbeda dengan bank
konvensional. Dalam beberapa hal, bank syariah dan bank konvensional memiliki
persamaan terutama dalam sisi teknis. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan
yang mendasar diantara keduanya yang menyangkut akad dan asek legalitas,
lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja serta
corporate culture.
A.
Pengertian Bank
1. Pengertian Bank
Konvensional
Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10
tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang
perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Bank konvensional dapat didefinisikan seperti
pada pengertian bank umum pada pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 tahun 1998
dengan menghilangkan kalimat “dan atau berdasarkan prinsip syariah”, yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2. Bank Syariah
Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank
Syariah, adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga.
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah
dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Menurut Antonio dan Perwataatmadja
yang dikutip oleh Ismail dalam buku Perbankan Syariah Bank Islam adalah bank
yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam dan bank yang tata cara
beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Batasan-batasan bank syariah yang harus
menjalankan kegiatannya berdasar pada syariat Islam, menyebabkan bank syariah
harus menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan dan tidak bertentangan dengan
yariat Islam. Adapun prinsip-prinsip bank syariah adalah sebagai berikut :
1. Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadiah)
Al-Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendaki.
Secara umum terdapat dua jenis al-wadiah, yaitu:
a. Wadiah Yad Al-Amanah (Trustee Depository)
b. Wadiah Yad adh-Dhamanah (Guarantee
Depository)
2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian
hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Bentuk produk yang
berdasarkan prinsip ini adalah:
a. Al-Mudharabah
b. Al-Musyarakah
3. Prinsip Jual Beli (Al-Tijarah)
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual
beli, imana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau
mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank,
kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah
harga beli ditambah keuntungan (margin).
4. Prinsip Sewa (Al-Ijarah)
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas
barang itu sendiri. Al-ijarah terbagi kepada dua jenis: (1) Ijarah,
sewa murni. (2) ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan
sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir
masa sewa.
5. Prinsip Jasa (Fee-Based Service)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan
bank.
B.
Akad Dan Aspek Legalitas
Fikih muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad.
Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya,
sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya
mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk
melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul
kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya
belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak
yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih
merupakan sanksi moral.
Akad merupakan suatu kesepakatan yang mengikat kedua belah
pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih
dahulu.
Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik
(sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam
kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi
seperti yang sudah disepakati dalam akad.
Dalam bank syariah, akad yang yang dilakukan memiliki
konsekwensi duniawi dan ukhrowi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum
islam. Sehingga kesepakatan dapat diminimalisir. Selain itu akad dalam
perbankan syariah baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan
lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:
1.
Rukun, seperti penjual, pembeli,
barang, harga dan ijab qabul.
2.
Syarat, seperti:
a.
Barang dan jasa harus halal.
b.
Harga barang dan jasa harus jelas
c.
Tempat penyerahan harus jelas.
d.
Barang yang ditransaksikan harus
sepenuhnya dalam kepemilikan.
C.
Struktur Organisasi
Salah satu perbedaan yang mendasar dalam struktur organisasi
bank konvensional dan bank syariah adalah kewajiban memposisikan Dewan Pengawas
Syariah (DPS) pada perbankan syariah. Demikian juga halnya di Indonesia,
sedangkan di bank konvensional tidak ada aturan yang demikian. Dewan pengawas
syariah merupakan satu dewan pakar ekonomi dan ulama yang menguasai bidang fiqh
mu’amalah (Islamic commercial jurisprudence) yang berdiri sendiri dan
bertugas mengamati dan mengawasi operasional bank dan semua produk-produknya
agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat Islam. Dewan pengawas syariah (The
Shari’a Supervisory Board) mesti melihat secara teliti bagaimana
bentuk-bentuk perikatan / akad (agrements, appointment and engagement)
yang dilaksanakan oleh institusi keuangan syariah. Dewan ini ditempatkan
sejajar dengan dewan komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin
efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah.
Dewan ini sekurang-kurangnya berjumlah tiga orang, dan
dibolehkan menunjuk beberapa orang pakar ekonomi untuk membantu tugasnya, namun
anggotanya tidak boleh merangkap sebagai director atau komisaris utama (President
Commissioner atau significant shareholders) dari institusi keuangan
syariah tersebut.2 Pembubaran atau penggantian anggota dewan syariah mesti
mendapat rekomendasi directors dan dikehendaki mendapat pengesahan dari
pemegang saham (shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
atau general meeting.
Di Indonesia, Dewan Pengawas Syariah (DPS) mempunyai peranan
yang sangat penting dalam perbankan / institusi keuangan syariah yaitu:
1. Membuat persetujuan garis panduan
operasional produk perbankan syariah tersebut sesuai dengan ketentuan yang
telah disusun oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
2. Membuat pernyataan secara berkala
pada setiap tahun tentang bank syariah yang berada dalam pengawasannya bahwa
bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam
laporan tahunan (annual report) institusi syariah, maka laporan dari
Dewan Pengawas Syariah mesti dibuat dengan jelas.
3. Dewan Pengawas Syariah wajib membuat
laporan tentang perkembangan dan aplikasi sistem keuangan syariah (Islam) di
institusi keuangan syariah khususnya bank syariah yang berada dalam
pengawasannya, sekurang-kurangnnya enam bulan sekali.4 Laporan tersebut
diberikan kepada Bank Indonesia yang berada di Ibu kota provinsi dan atau Bank
Indonesia di Ibu kota negara Indonesia-Jakarta.
4. Dewan Pengawas Syariah juga
berkewajiban meneliti dan membuat rekomendasi jika ada inovasi produk-produk
baru dari bank yang diawasinya. Dewan inilah yang melakukan pengkajian awal
sebelum produk yang baru dari bank syariah tersebut diusulkan, diteliti kembali
dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
5. Membantu sosialisasi perbankan /
institusi keuangan syariah kepada masyarakat.
6. Memberikan masukan (in-put)
bagi pengembangan dan kemajuan institusi kewangan syariah.
Dengan
adanya Dewan Pengawas Syariah pada setiap Bank Umum Syariah yang berpusat di
ibu kota negara Indonesia-Jakarta, maka tidak menolak kemungkinan timbulnya
berbagai perbedaan pendapat (ijtihad) tentang beberapa produk perbankan
syariah antara satu bank syariah dengan bank syariah yang lain. Hal in akan
membingungkan para nasabah (customers) dan menyukarkan untuk menyatukan
persepsi umat Islam terhadap perbankan syariah di Indonesia. Oleh sebab itu
didirikanlah Dewan Syariah Nasional (DSN) yang mengetuai semua institusi
keuangan syariah di Indonesia.
Fungsi Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah :
1.
Mengawasi semua produk-produk semua
institusi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Tugas dewan ini lebih luas
daripada Dewan Pengawas Syariah yang ada di setiap bank syariah atau institusi
keuangan syariah di Indonesia. Dewan Syariah Nasional tidak hanya mengawasi
perbankan syariah tetapi juga institusi-institusi keuangan syariah lainnya
seperti asuransi syariah, reksadana syariah, modal ventura, dan lain-lain
sebagainya.
2.
Untuk kesatuan dalam pelaksanan
sistem syariah di setiap institusi keuangan syariah di Indonesia, Dewan Syariah
Nasional membuat garis panduan yang dipatuhi oleh semua Dewan Pengawas Syariah
yang ada pada setiap institusi keuangan Syariah untuk mengawasi jalanya sistem
syariah di setiap institusi keuangan syariah tersebut.
3.
Dewan Syariah Nasional juga bertugas
meneliti ulang dan memberikan fatwa atas segala bentuk produk yang diusulkan
dan dikembangkan oleh institusi keuangan syariah.
4.
Dewan Syariah Nasional juga
mengesahkan usulan nama-nama orang yang akan disahkan menjadi Dewan Pengawas
Syariah yang berada di setiap institusi keuangan syariah. Selain itu, Dewan
Syariah Nasional juga memberi cadangan para ulama/intelektual Muslim yang akan
ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di institusi keuangan syariah.
D.
Lembaga Penyelesaian Sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan
syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua
belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya
sesuai tata cara dan hukum syariah. Lembaga yang mengatur hukum berdasar
prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arrbitrase Muamalah
Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik
Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.
Dalam rekomendasi RAKERNAS MUI tanggal 23-26 Desember 2002,
menegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu-satunya
dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian sesuai dengan hail pertemuan
antara dewan pimpinan MUI dengan pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003 serta
memperhatikan isi surat pengurus BAMUI No.82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 7 Oktober
2003, maka MUI dengan SKnya No.Kep 09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember 2003,
menetapkan:
1.
Mengubah nama Badan Arbitrase
Muamalat Indoesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
2.
Mengubah bentuk badan dari yayasan
menjadi badan yang berada d bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi.
3.
BASYARNAS bersifat otonom dan
independen.
1.
Menyelesaikan perselisihan dan
sengketa keperdataan dengan prinsip yang mengutamakan perdamaian.
2.
Menyelesaiakan sengketa keperdataan
antara bank syariah dengan nasabahnya yang menjadikan syariah sebagai dasarnya.
3.
Memberikan penyelesaian yang adil
dan cepat dalam sengketa muamalat yang timbul dalam bidang perdagangan,
industri, jasa dan lain-lain.
4.
Atas permintaan pihak-pihak dalam
suatu perjanjian, dapat memberikan suatu pendapat mengenai suatu persoalan
berkenaan dengan perjanjian tersebut.
1.
Permohonan untuk mengadakan
arbitrasi
2.
Penetapan arbiter
3.
Acara pemeriksaan
4.
Perdamaian
5.
Pembuktian dan saksi
6.
Berakhirnya pemeriksaan
7.
Pengambilan putusan
8.
Perbaikan putusan
9.
Pembatalan putusan
10.
Pendaftaran putusan
11.
Pelaksanaan putusan
12.
Biaya arbitrase
Mengenai kewenangan kompetensi absolut terhadap penyelesaian
permasalahan hukum antara nasabah dan bank syariah, telah diatur dalam
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 55 ayat 1
“Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama”. Hal tersebut telah diperkuat dengan UU No.3 tahun
2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pasal
49.
E.
Bisnis Dan Usaha Yang Dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dibiayai tidak
terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin
membiayai usaha yang terkandung di dalammnya hal-hal yang diharamkan. Dalam
perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan
beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut:
1.
Usaha yang dibiayai merupakan proyek
halal
2.
Usaha yang bermanfaat bagi
masyarakat
3.
Usaha yang menguntungkan bagi bank
dan mitra usahanya.
Sebaliknya bank konvensional, tidak mempertimbangkan jenis
investasinya, akan tetapi penyaluran dananya dilakukan untuk perusahaan yang
menguntungkan, meskipun menurut syariah Islam tergolong produk yang tidak
halal.
F.
Lingkungan Kerja Dan Corporate
Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja
yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika misalnya sifat amanah dan shiddiq
harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutuf muslim
yang baik. Disamping itu karyawan bank syariah harus skillful dan profesional
dan mampu melakukan tugas-tugas teamwork.
Selain itu, cara perpakaian dan tingkah laku dari para
karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam lembaga keuangan yang
membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah
laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus
senantiasa terjaga.
0 komentar: