BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dalam
masyarakat kita sering mendengar dan melihat berbagai
kasus yang berkenaan dengan penindasan rakyat sudah sangat mendarah daging
dalam pemberitaan pers. Seperti melalui media elektronik maupun media cetak.
Sebut saja kasus penindasan yang terjadi ketika orde baru masih berkuasa. Yaitu
penindasan terhadap keberadaan hak tanah rakyat yang diambil oleh penguasa
dengan alasan pembangunan dan juga contoh lainnya dengan adanya DOM (Daerah
Operasional Militer di Aceh), juga kita sering mendengar dan mengetahui
penculikan para aktifis demokrasi di berbagai negara, termasuk di Indonesia dan
akhir yang paling menyakitkan adalah ketika kita kehilangan ruang untuk
mengemukakan pendapat kita di depan publik.
Pertanyaan – pertanyaan tersebut pada akhirnya akan
bermuara pada perlunya mengkaji kembali kekuatan rakyat atau masyarakat (civil)
dalam konteks interaksi relationship, baik antara rakyat dengan
negara, maupun antara rakyat dengan rakyat. Kedua pola hubungan interaksi tersebut
akan memposisikan rakyat sebagai baghian integrasi dalam komunitas negara yang
memiliki kekuatan bergening dan menjadi komunitas masyarakat sipil yang
memiliki kecerdasan, analisi kritis yang tajam serta mampu berinteraksi di
lingkungannya secara demokratis dan berkeadaban.
Kemungkinan adanya kekuatan civil sebagai bagian dari
komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang
berkembang, yakni masyarakat madani. Wacana masyarakat Madani ini, merupakan
wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan
proses modernisasi terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat
feodal menuju masyarakat Barat modern, yang dikenal dengan istilah civil
society.
1.2. TUJUAN PENULISAN
1. Memahami arti dari masyarakat madani
2. Memahami bagaimana konsep masyarakat madani
3. Mengetahui karakteristik masyarakat madani
4. Menganalisis hubungan masyarakat
madani dan penegakan hak-hak sipil keagamaan di Indonesia
5. Mengetahui cita-cita dalam
masyarakat madani
1.3. MANFAAT PENULISAN
Manfaat yang
diharapkan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
memenuhi tugas pada mata kuliah Pendidikan Agama
2.
Bagi
penulis diharapkan dapat mendatangkann manfaat didalam menambah wawasan serta
pengetahuan yang lebih luas
3.
Bagi Pembaca makalah ini diharapkan
dapat mendatangkan manfaat sebagai tambahan informasi serta referensi.
1.4. SISTEMATIKA PENULISAN
Didalam sistematika
penulisan makalah ini, akan dijelaskan secara deskripif mengenai pokok-pokok
permasalahan yang erat kaitannya dalam penulisan. Selanjutnya akan dibagi
tiap-tiap bab kedalam sub-sub bab.
Adapun sistematika penulisan sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Didalam pendahuluan
akan dijelaskan tentang latar belakang penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
serta sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Didalam bagian ini akan
dijelaskan tentang Pengertian masyarakat madani, Konsep masyarakat madani,
Karakteristik masyarakat madani, Masyarakat madani dan penegakan hak-hak sipil
keagamaan di Indonesia, dan tentang Cita-cita masyarakat madani : Teori dan
Praktek.
BAB III PENUTUP
Didalam bagian ini
merupakan bagian akhir pada keseluruhan penulisan. Berisi kesimpulan terhadap
pokok pembahasan yang disajikan dalam laporan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI
Zbiqniew Ran mendefenisikan masyarakat madani, dengan latar
belakang kaitannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet, ia mengatakan bahwa
yang dimakud dengan masyarakat madani adalah merupakan suatu masyarakat yang
berkembang dari sejarah, yang mengendalikan ruang dimana individu dan
perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai
nilai – nilai yang mereka yakini. Ruang ini timbul diantara hubungan – hubungan
yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubungan – hubungan yang menyangkut
kewajiban mereka terhadap negara. Oleh karenanya, maka yang dimaksud masyarakat
madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan
negara, dan pengaruh kekuasaan keluarga dan negara dalam masyarakat madani ini
diekspresikan dalam gambar ciri – cirinya, yakni individualisme, pasar (market)
dan pluralisme. Batasan yang dikemukakan oleh RAU ini menekankan pada adanya
ruang hidup dalma kehidupan sehari – hari serta memberikan integrasi sistem
nilai yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme pasar
(market) dan pluralisme.
Dan ada juga konsep yang dikemukakan oleh Kim Sunhuhyuk
dalam konteks Korea Selatan, ia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok – kelompok
yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan – gerakan dalam masyarakat
yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan – satuan dasar
dari (re) produksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik
dalam suatu ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan
kepentingan – kepentingan mereka menurut prinsip – prinsip pluralisme dan
pengelolaan yang mandiri.
Pada makna diatas menggambarkan adanya organisasi
masyarakat yang secara tidak langsung mempunyai polusi yang otonom dari
pengaruh dan kekuasaan negara. Eksistensi, organisasi – organisasi ini
mengisyaratkan adanya ruang publik (publik sphere) yang memungkinkan
untuk menuangkan kepentingan – kepentingan tertentu dengan maksud – maksud
tertentu pula.
Di Indonesia, terma masayarakat madani di terjemahkan
secara berbeda-beda seperti masyarakat madani sendiri, masyarkat sipil,
masyarakat kewargaan, masyarakat warga dan civil sosiety (tanpa
diterjemahkan).
Masyarakat madani, sebagai terjemahan istilah civil
society, pertama kali digunakna oleh Pato Seri Anwar Ibrahim dalam
Ceramahnya pada Simposium National dalam rangka forum Ilmiah pada acara
festifal Isiqlal, 26 September 1995 di Jakara. Konsep ini hendak menunjukkan
bahwa masyarakat memiliki peradaban maju.
2.2. KONSEP MASYARAKAT
MADANI
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di
bumi, walaupun dalam wacana akademi di Indonesia belakangan mulai
tersosialisasi. "Dalam bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan
Civil Society". Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan
kata civil society atau al-muftama' al-madani. ....Istilah civil
society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya
dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami
perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka
kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai
"area tempat berbagai gerakan sosial" [seperti himpunan ketetanggaan,
kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual] serta organisasi
sipil dari semua kelas [seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan
usahawan] berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka
dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan
mereka. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya
kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya
nilai- nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan,
kebebasan dan kemajemukan [pluralisme] [Masykuri Abdillah, 1999:4]. Sedangkan
menurut, Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah
Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani"
ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah
[terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau
"parama" dan "dina"]. Maka, secara "semantik"
artinya kira-kira ialah, sebuah agama [dina] yang excellent [paramount]
yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban [madani] [Kamaruddin
Hidayat, 1999:267-268
Kata madani sepintas orang mendengar
asosiasinya dengan kata Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal
dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang
kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Maka, "Kalangan
pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut
keislaman madani [attributive dari kata al-Madani]. Oleh karena itu, civil
society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di
[kota] Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut
Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum,
jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok
minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat [kota]
Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat
dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society"[Thoha
Hamim, 1999:4].
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi
kalangan intelektual Muslim kedua istilah [masyarakat agama dan masyarakat
madani] memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah
masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan
Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula
kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah
manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah
masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad
[Kamaruddin Hidayat, 1999:267]. Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani
dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.
Dari paparan di atas dapat dikatakan
bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat yang memiliki
"kemandirian aktivitas warga masyarakatnya" yang berkembang sesuai
dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan
memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan [persamaan], penegakan
hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan [pluralisme], dan
perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, masyarakat madani
merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di
bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural.
2.3. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Adapun karakteristiknya pertama, Free Public
Sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam
mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya
yang setara mampu melakukan transaksi – transaksi wacana dan praksis politik
tanpa mengalami distorsi dan kehawatiran. Persyarat ini dikemukakan oleh
Arendit dan Habermal lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis
bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki
akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan
kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat berserikat, berkumpul serta
mempublikasikan informasi kepada publik.
Kedua, Demokrasi
merupakan satu entitas yang menajdi penegak wacana masyarakat madani, diaman
dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk
meyakinkan aktifitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungannya.
Demokrasi berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan
berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku,
ras, dan agama. Prasarat demokratis ini banyak di kemukakan oleh para pakar
yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi merupakan salah satu
syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani.
Ketiga, toleransi
meupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan
sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dikemukakan orang lain.
Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing – masing individu untuk
menghargai dan menghormati pendapat serta aktifitas yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat yang lain berbeda. Toleransi menurut Nurcholish Madjid
merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika
toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” anatra berbagai
kelompok yang berbeda – beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah”
atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang benar.
Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani
(civil society) lebih dari sekedar gerakan – gerakan pro demokrasi. Masyarakat
madani juga mengacu ke hidupan yang berkualitas dan tamaadun (civil). Civilitas
meniscayakan ideransi, yakni kesediaan individu – individu untuk menerasi
pandangan – pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
Empat, Pluralisme
merupakan satuan prasarat penegakan masyarakat madani, maka pluralisme harus
dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatacara kehidupan yang
menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari – hari
pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima
kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang
tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positifdan
merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholis Madjid, konsep pluralisme ini merupakan
prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah
pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan – ikatan keadaan. Bahkan pluralisme
adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui
mekanisme pengawasan dan pengembangan.
Lebih lanjut Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh
pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk,
yakni masyarakat yang tidak menolitik.
Kelima, keadilan
sosial merupakan keadilan yang menyebutkan kesimbangan dan pembagian yang
proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup
seluruh aspek kehidupan.
Dalam pemikiran mengenai format bernegara menuju Indonesia
Baru Pasca Orde Baru (era reformasi ) teridentifikasi konsep masyarakat madani
yang telah berkembang sebagai alternatif pendekatan, karena masyarakat madani
berisikan nilai – nilai dan konsep – konsep dasar tetentu yang berguna dalam
rangka pemberdayaan masyarakat atau lebih menyeimbangkan posisi dan peran
penentuan yang tetap terasa pada perwujudan cita – cita berbangsa dan bernegara
sebagaimana di amanatkan UUD 1945.
Adapun nilai – nilai dasar masyarakat madani antara lain
adalah kebutuhan, kemerdekaan, hak asasi dan martabat manusia, kebangsaan,
demokrasi, kemajemukan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan, kesejahteraan,
keadilan dan supermasi hukum, dan sebagainya.
Menciptakan masyarakat madani merupakan peluang bagi agama.
Menurut Ayatullah Khomuni, ada keterkaitan erat antara agama dan politik.
Masyarakat madani dapat juga dikatakan sebagai sebuah “revolusi”.
Dalam rangka memberdayakan masyarakat untuk memikul
tanggung jawab pembangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara melalui
:
1.
Pengurangan hambatan dan
landasan – landasan bagi kreatifikasi dan partisipasi masyarakat.
2.
Perluasan akses, pelayanan
untuk menunjang berbagai kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat.
3.
Penghargaan program untuk
lebih meningkatkan kemampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat
berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang
tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi, guna meningkatkan kesejahteraan
mereka.
2.4. MASYARAKAT MADANI
dan PENEGAKAN HAK-HAK SIPIL KEAGAMAAN DI INDONESIA
Menuju masyarakat madani melalui penegakan hak – hak sipil
keagamaan dimana negara Indonesia adalah negara hukum yang diartikan sebagai
negara dimana tindakan pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk
mencegah adanya tindakan kesewenang – wenangan dari pihak penguasa dan tindakan
rakyat menurut kehendak sendiri.
Sebagai unsur – unsur yang klasik yang dipakai dalam negara
yaitu diakuinya adanya hak – hak asasi yang harus dilindungi oleh pihak
penguasa dan sebagai jaminannya ialah diadakan pembagian kekuasaan.
Negara
hukum mempunyai 4 unsur :
1.
Hak – hak asasi
2.
Pembagian kekuasaan.
3.
Adanya undang – undang bagi
tindakan pemerintah.
4.
Peradilan administrasi yang
berdiri sendiri.
Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan –
bentrokan dalam masyarakat negara harus melaksanakan penertiban. Dapat
dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator.
Negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan
untuk mengatur hubungan – hubungan manusia dalam masyarakat dan mentertibkan
gejala – gejala kekusaan manusia dalam masyarakat dan gejala – gejala kekuasaan
dalam masyrakat. Negara menetapkan cara- cara dan batas – batas sampai dimana
kekuasaan dapat digunakan dalma kehidupan. Pengendalian ini berdasarkan sistem
hukum dan dengan peraturan pemerintah serta segala alat – alat perlengkapan.
Untuk menegaskan kedudukan agama ini maka telah disebutkan
bahwa neagara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
“Ketuhaan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan
Perwakilan, serta dengan mewujudkan Suatu Keadilan Sosial Bagi Sleuruh Rakyat
Indonesia”.
Prinsip Ketuhanan ini menegaskan bahwa masing – masing
orang Indonesia hendaknya bertuhan . Mereka yang beragama Kristen menyembah
Tuhan menurut petunjuk Isa Al – Masih, yang beragama Islam menjalankan
ibadahnya menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, umat Hindu menjalankan ibadahnya
menurut kitab – kitab yang ada padanya, begitu pula umat Budha.
Nilai – nilai ketuhanan menuntut tumbuhnya sikap dan
perbuatan yang sesuai dengan norma – norma dan moral yang diajarkan oleh agama
– agama yang bersumber dari Tuhan. Hal ini mengingat bahwa agama adalah dasar
dan asas moral bangsa dan masyarakat yang berfilsafah pancasila. Untuk itu maka
nilai – nilai agama mendapat tempat interprestasi dan implementasi dalam
pancasila sebagai dasar filsafah dan ideologi ngara. Bangsa Indonesia diakui
sebagai bangsa yang beragama.
Indonesia adalah negara serba ganda (plural stabe).
Bangsa Indonesia telah hidup dengan keserbagandan ini sejak zaman leluhur. Dari
bisa di telusuri kembali sejarah bangsa Indonesia sejak zaman leluhur itu,
tidak terdapat fakta tentang adanya usaha – usaha untuk mempermasalahkan
keserbagandaan ini.
Dalam membangun dan membina masyarakat dan bangsa dengan
totalitasnya, perlu dipikirkan terutama terhadap generasi penerus, agar
keberagaman yang telah interen dengan alam dan kondisi Indonesia ini dipahami
dan diterima oleh mereka. Dengan pengertian tidak menjadikan keberagaman ini
sebagai topik permasalahan terutama yang sifatnya sensitif sekali, yaitu agama.
Indonesia sebagai negara pancasila, dalam penganutan agama
prinsip kebebasan di junjung tinggi, termasuk untuk menyiarkan agama itu sendiri.
Negara dan pemerintah tidak menghalangi setiap golongan agama untuk menyiarkan
dan menyebarkan agamanya. Namun kebebasan disini tidak dapat ditafsirkan dengan
kebebasan tanpa batas dan harus didasarkan kepada prinsip pancasila dan UUD
1945 dengan berorientasi kepada pemeliharaan persatuan dan rasa kebangsaan.
Pluralitas agama atau masalah agama, artinya bila masalah agama tidak menjadi
perhatian yang layak sehingga tidak terciptanya kerukunan umat beragama maka
integritas bangsa dan negara akan tergoyahkan, bila dimana bentuk ekstrim
bahkan dapat berbahaya, masalah suku tumbuh lagi.
Hak – hak atau hak asasi dalam masyarakat dan bangsa
meliputi, kemerdekaan beragama, mendapatkan pendidikan dan pengajaran,
kebebasan mengeluarkan pikiran baik denganh lisan atau tulisan, mendapatkan
tempat atau rumah dan sebagainya.
Dalam masyarakat madani, setiap manusia mempunyai hak sama
dan dipandang sebagai kenyataan, baik secara pribadi ataupun secara
bergolongan. Setiap anggota masyarakat menyadari posisi masing – masing baik ia
sebagai anggota masyarakat biasa, karyawan, pejabat ataupun sebagai penguasa,
bahwa ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Dalam kebebasan atau kemerdekaan terkandung kebebasan
beragama dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Kebabasan beragama, tiap penganut
atau tiap golongan agama mempunyai kebebasan dan perlindungan yang sama dalam
menganut agama dan melaksanakan ibadat agamanya. Tiap Undang – Undang atau
peraturan yang dibuat pemerintah atau oleh lembaga negara tidak bertentangan
dengan agama yang dianut oleh warganya.
2.5 CITA-CITA MASYARAKAT MADANI :
TEORI dan PRAKTEK
Kini
tibalah saatnya kita membahas tema utama kita: cita-cita masyarakat madani
dalam kebudayaan Islam. Tetapi sebelum kita membahasnya lebih lanjut, ada yang
harus saya katakan berkenaan dengan lingkup pembahasan topik ini. Dari yang
dapat saya ketahui, pembicaraan tentang masyarakat madani ini pada umumnya
dikaitkan dengan soal politik, yakni “civil” dalam pengertian “pemerintahan
sipil yang berlawanan dengan pemerintahan militer, atau eklesiastik.” Namun
dalam pembicaraan ini, masyarakat madani akan saya batasi pada bidang-bidang
kultural yang berkaitan dengan cara atau sikap hidup yang seyogyanya dimiliki
oleh masyarakat perkotaan, seperti sikap toleran, inklusif, demokratis,
egaliter, dll. Jadi di sini kata madani dipahami dalam pengertian lain dari
yang saya singgung di atas.
Adapun
yang ingin saya lakukan di sini sebenarnya sederhana saja yaitu mengambil
beberapa contoh historis dari cita-cita masyarakat madani, sebagaimana yang
saya temukan dalam ucapan (teoritis) maupun tindakan (praktek) para pendukung
kebudayaan Islam, baik itu para ulama, udaba’, sufi, ilmuwan dan filosof
Muslim. Sebagaimana kota Jakarta, kota-kota besar dunia Islam pada masa
kejayaannya, terutama Baghdad dan Kordoba, merupakan masyarakat yang majemuk
(plural), di mana penduduk dari berbagai latar belakang etnik, suku, bangsa dan
agama berkumpul dan hidup bersama. Tentu saja keadaan ini menimbulkan
tantangan-tantangannya sendiri yang perlu dijawab oleh masyarakat perkotaan
dengan mengembangkan sifat-sifat yang cocok dengan keadaan. Sifat-sifat yang
cocok dengan keadaan masyarakat kota inilah yang kita maksud dengan cita-cita
masyarakat madani, dan ini antara lain meliputi inklusivisme, humanisme/egalitarianisme,
toleransi, dan demokrasi.
a. Inklusivisme
Sikap
inklusif ini sebenarnya telah dipraktekkan oleh para adib ketika menyusun
“adab” mereka. Karena, selain menggunakan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber
yang paling otoritatif, mereka juga masih menggunakan sumber-sumber lain dari
kebudayaan lain. Dalam puisi, misalnya, mereka menggunakan dan menghargai
warisan Jahiliyyah, dan bahkan sebagian mereka menggunakannya sebagai tolok
ukur bagi kualitas dan kesusksesan sebuah karya puitis. Demikian juga ketika
mereka mengambil pelajaran moral dari karakter hewan-hewan, mereka tidak
ragu-ragu menggunakan karya-karya fabel dari kebudayaan luar, terutama India,
seperti kitab Kalilah wa al-Dimnah karya seorang pujangga India, Bidpei. Karya
ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ibn Muqaffa’ pada abad
kesembilan, dan menjadi contoh ideal bagi setiap karya seperti itu. Sedangkan
teladan moral dari para pahlawan dan raja-raja bijaksana, bersumber dari cerita
epik para pahlawan dan raja-raja Persia, sebagaimana tercermin dari karya
Firdawsi, Shah namah (Kisah para raja). Demikian juga karya-karya gnomologis
(hikmah) yang mereka himpun, bersumber dari kata-kata hikmah (hikam) para
bijaksanawan/ pujangga Persia, Arab, Yunani dan India, sebagaimana tercemin dari
karya Miskawayh yang sangat terkenal, al-Hikmah al-Khalidah (Filsafat
Perenial), atau karya serupa itu dari Ibn Hindu, al-Kalim al-Ruhaniyah.
b. Humanisme (Egalitarianisme)
Yang
dimaksud dengan humanisme di sini adalah cara pandang yang memperlakukan manusia
karena kemanusiaannya, tidak karena sebab yang lain di luar itu, seperti ras,
kasta, warna kulit, kedududukan, kekayaan atau bahkan agama. Dengan demikian
termasuk di dalam humanisme ini adalah sifat egaliter, yang menilai semua
manusia sama derajatnya.
c. Toleransi
Toleransi
umat Islam barangkali dapat dilihat dari beberapa contoh di bawah ini: Para
penguasa Muslim dalam waktu yang relatif singkat telah menaklukan beberapa
wilayah sekitarnya, seperti Mesir, Siria dan Persia. Ketika para penguasa Islam
itu menaklukkan daerah-daerah tersebut, di sana telah ada dan berkembang dengan
pesat beberapa pusat ilmu pengetahuan. Namun mereka tidak mengganggu
kegiatan-kegiatan ilmiah dan filosofis yang telah ada sebelum Islam datang di
beberapa kota di Timur Tengah. Beberapa pusat ilmu di kota-kota Siria, seperti
Antioch, Harran, dan Edessa, tetap berkembang ketika orang-orang Arab
menaklukkan Siria dan Iraq. Menurut penilaian Majid Fakhry, penaklukan Arab
secara keseluruhan tidak mencampuri pencarian akademis oleh sarjana-sarjana di
Edessa, Nisibis dan pusat-pusat ilmu di Timur dekat. Di pusat-pusat ilmu ini,
kajian-kajian filosofis dan teologis oleh para sarjana Kristen tetap berjalan
sebagaimana biasanya, dan mereka menikmati kebebasan berfikir yang diberikan oleh
para penguasa Muslim.
d. Demokrasi (Kebebasan berpikir)
Menurut
Abdolkarim Soroush, dalam bukunya Reason, Freedom and Democracy in Islam, salah
satu sifat yang tidak boleh ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan
individu untuk mengemukakan pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan
berpikir. Nah bagaimana kebabasan berpikir ini dilaksanakan oleh masyarakat
kota-kota besar Islam, terutama pada masa kejayaananya, dapat kiranya dilihat
dari contoh-contoh berikut ini. Kebebasan untuk menyampaikan kritik terhadap
penguasa, dalam hal ini para perdana menteri (wazir), dapat dengan gamblang
kita lihat dalam karya Abu Hayyan al-Tawhidi. Dalam bukunya yang berjudul
Akhlaq al-Wazirayn (Karakter dari Dua Wazir), al-Tawhidi mengeritik karakter
dan bahkan kadang administrasi dari dua wazir Buyid, Ibn Amid dan Ibn Sa’dan.
Ibn ‘Amid, misalnya dikatakan terlalu “pelit” di dalam menggaji bawahannya,
bahkan bawahan yang penting seperti Ibn Miskawayh (w. 1010), seorang filosof
etik yang terkenal. Menurutnya, Miskawayh dibayar oleh Ibn ‘Amid, dengan gaji
yang pas-pasan, yang tentunya tidak cocok dengan sifat seorang wazir, yang
seharusnya dermawan.
BAB
III
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulakn sebagai berikut :
[1] Menyarakat madani merupakan suatu ujud masyarakat yang memiliki kemandirian
aktivitas dengan ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan
kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan umum, piranti
eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan
merata kepada setiap warganya. ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang
ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada era reformasi ini, akan mengarakan
semua potensi bangsa berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya,
militer, kerah masyarakat madani yang dicita-citakan. [2] Konsep dasar
pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang
manusia meenurut aajaran Islam, filsafat dan teori pendidikan Islam yang
dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan
lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan pendidikan Islam adalah
filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk
lingkungan ( sosial - kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani.
(3) Konsep dasar pendidikan Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam
dan relevan dengan disain masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar
filsafat dan teori pendidikan harus memperhatikan konteks supra sistem bagi
kepentingan komunitas "masyarakat madani" yang dicita-citakan bangsa
ini.
0 komentar: